Rabu, 31 Agustus 2011

“PERANAN PEREMPUAN DALAM MENGHADIRKAN PERDAMAIAN”
Oleh
Pdt. Dr. Jonriahman Sipayung
(Bahan ceramah ini disampaikan dalam Seminar Sehari : “Perempuan untuk Perdamaian”, oleh WCC Sopou Damei GKPS bekerjasama dengan Pengurus Pusat Seksi Wanita GKPS,
Galang, 20 Agustus 2011)

1. Kata “damai” banyak kita temukan dalam Alkitab. Dalam bahasa Ibrani kata “damai” diterjemahkan dengan syalom. Arti syalom ini menunjukkan keadaan sehat walafiat, utuh atau dalam keadaan baik. Syalom sering diungkapkan saat orang Israel bertemu dengan orang lain. Mereka mengatakan “syalom alekhem”, artinya “damai bagimu”. Dan kata ini juga dapat dihubungkan dengan ungkapan dalam bahasa Simalungun “horas ma bamu atau horas ma bani nasiam”. Dalam bahasa Yunani klasik ada tiga perkataan untuk mengungkapkan kata damai. Yang pertama galene artinya menunjukkan keadaan alam yang aman, tenang / bersahabat. Misalnya gelombang laut atau danau yang aman. Perkataan galene inilah yang dipakai Yesus ketika Dia menghardik angin ribut dan berkata kepada danau itu: “galene “Diam! Tenang! Dan danau itupun seketika menjadi tenang (damai) (Mark 4:39). Kedua adalah kata “homonoia” artinya menunjuk suasana “rukun, harmonis atau damai”. Dalam hal ini ada suasana rukun, harmonis antara pribadi yang satu dengan yang lain. Kata ini sangat jarang digunakan dalam PB. Ketiga, yaitu “eirene”. Kata ini sangat banyak digunakan dalam kitab PB bahkan setiap kitab dalam PB kecuali kitab 1 Yohanes kita dapat temukan kata eirene ada di dalamnya. Sehingga tidak jarang kata eirene ini hingga kini digunakan para orang tua menjadi nama anaknya khususnya anak perempuan.
Dari ketiga perkataan di atas sekalipun penyebutannya berbeda namun pada dasarnya mempunyai arti yang berkaitan satu sama lain, yaitu menunjukkan kepada suasana damai, aman, tentram dan kondusif. Bagi orang Yunani suasana damai sering dikaitkan dengan sebuah nilai / makna positif. Kata damai meupakan nilai paling tinggi dalam hidup mereka. Bagi orang Yunani suasana eirene berarti tidak ada perang. Negara, aman dan terkendali. Sehubungan dengan pemahaman inilah orang Yunani punya motto hidup seperti ini: “Si vis pacem, para bellum”, yang artinya “kalau kita mau memiliki damai bersiaplah untuk berperang.” Dengan pemahaman ini orang Yunani memahami bahwa damei itu adalah hasil jerih payah dan perjuangan manusia.

2. Kata eirene mengandung banyak arti, misalnya “selamat” (Mrk 5:34, Luk 7:50; bnd Kej 43:23; Kel 4;12, “damai” (Ibr 12:14 bnd. 1 Rj 5:12), “damai sejahtra” (Luk 1:79, 2:14; Yoh 14:27, 20:19; Kis 10:36 bnd Yes 48:18; 57:19). Hubungan kata syalom, dengan eirene punya kaitan yang erat. Arti eirene ini banyak persamaannya dengan kata syalom. Misalnya kata eirene dipakai untuk salam pembuka dalam komunikasi. Demikian juga dalam PL. Yesus setelah kebangkitanNya menampakkan diri dan menyapa para murid yang sedang berkumpul dengan berkata: “damai sejahtera bagi kamu” (Yoh 20:19, 21. 26). Dan sapaan ini juga digunakan untuk seseorang yang hendak berangkat / bepergian. Misalnya dengan ungkapan “pergilah dengan damai dan sembuhlah dari penyakitmu” (Mrk 4:34). Baik dalam PL dan PB kondisi syalom atau eirene itu adalah sama-sama bersumber dari Allah. Dalam kitab Kejadian dengan tandas menyebut Allah lah sumber damai / syalom (Kej 28:21, 41:16). Aku akan memberi damai sejahtrea di dalam negeri itu (Im 26:6). Dalam kitab Bilangan menyebutkan kehadiran Allah pertanda hadirnnya berkat dan damai sejahtera (syalom). “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” (Bil 6:24-26). Namun bila syalom itu ditarik oleh pemiliknya maka manusia hidup dalam perkabungan dan duka cita (bnd.Yer 16:5). Demikian juga dalam PB, eirene atau damai bersumber dari Allah. Dalam Wahyu 1:4 tegas menyebut : “Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu, dari Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, dan dari ketujuh roh yang ada di hadapan takhta-Nya” (Ibr 7:2). Dalam Injil Yohanes 14:27 lebih tandas menyebut Kristuslah pemberi damai sejahtera bagi para murid-muridNya. Oleh karena itu orang yang ada di dalam Kristus dialah yang hidup dalam ketenangan dan damai sekalipun di tengah-tengah kekacauan dan ketidaktenangan.
3. Penggunaan kata syalom atau eirene sangat tegas artinya bagi kita yaitu bukan hanya sebagai sapaan atau ucapan kepada seseorang yang hendak bepergiaan saja melainkan suatu tindakan persahabatan, hubungan baik harmonis dengan orang lain. Misalnya hubungan baik antara Yabin raja Hazor dengan dengan keluarga Heber orang Keni (Hak 4:17). Ada hubungan baik antara Yusuf dengan Maria (Luk 2:3-5). Dalam Zakharia 8:16) damai itu dihubungkan dengan sikap manusia yaitu berkata benar dan melaksanakan hukum dengan benar. Demikian juga tindakan menjauhi apa yang jahat dan melakukan apa yang baik sama maknanya mencari / melakukan perdamaian (Mzm 34:15). Damai dan kebenaran / keadilan (tsedaqah) adalah sesuatu yang paralel / identik. Pemazmur dengan tandas menyebut: “Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman”(Mzm 85:11). Perkataan ini memberi arti bagi kita bahwa melakukan damai itu sama hakekatnya melakukan kebenaran atau keadilan. Sebab menurut nabi Yesaya : “tidak ada damai bagi orang fasik itu, firman Allahku” (Yes 57:21). Itu berarti di mana ada tindakan kebenaran / keadilan di situ ada damai sejahtra demikian juga sebaliknya. Dan dampak tindakan kebenaran itu menghasilkan ketenangan dan ketentraman hidup manusia (bnd. Yes 32:17). Hal ini mengingatkan kita kepada kata-kata bijak dalam bahasa Latin “Opus justitiae pax” yang artinya damai adalah buah / hasil tindakan keadilan. Dari penjelasan ini nyata bahwa memberlakukan damai merupakan suatu desakan dan panggilan untuk dilakukan, yaitu melakukan apa yang baik, benar dan adil di tengah—tengah masyarakat. Dalam Perjanjian Baru Yesus sangat menekankan pentingnya tindakan damai itu diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Yesus berkata kepada para muridNya: “Garam memang baik, tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya? Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain “(Mrk 9:50). Perkataan ini memberi arti bahwa Yesus mengharapkan hubungan di antara para muridNya hidup dalam integritas / jujur adil dan hidup sebagai teladan bagi sesamanya. Karena itulah panggilan dan tanggungjawab kita selalu murid Tuhan Yesus. Demikian juga Paulus dalam surat-suratnya menasehatkan kepada kita pentingnya tindakan damai itu dihadirkan dalam kehidupan dengan sesama manusia. Banyak nasehat-nasehat praktis Paulus untuk mendesak jemaat memberlakukan damai. Misalnya Paulus menyebut contoh :“Hendaklah damai sejahtra Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh” (Kol 3:15). Dan Paulus menyebut bahwa salah-satu buah-buah dari Roh adalah “damai sejahtera” (Gal 5:22-23), demikian juga kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtra dan suka cita oleh Roh Kudus (Rom 14:17). Dengan uraian ini memperliahatkan bahwa damai sejahtra bukan hanya sebagai suasana aman, kondusif tetapi lebih dari itu yaitu menghidupi dan melakukan damai. Dan adapun yang menjadi motivasi Paulus dalam nasehat ini adalah karena Allah adalah damai. Yesus adalah Juru damai. Demikainlah Ia mendesak setiap orang percaya untuk hidup berdamai dengan Allah dan berdamai dengan sesama. Paulus mendasarkan alasannya sebab Allah bukanlah Allah yang menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtra (1 Kor 14:33). Untuk itu berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan …( Ibr 12:14). Satu hal yang menjadi penenguhan dan janji Tuhan bahwa kepada setiap pelaku damai meekalah yanag berbahagia dan mereka disebut sebagai anak-anak Allah (Mat 5:9).

4. Peranan Perempuan dalam menghadirkan tindakan damai dalam kehidupan sehari-hari.
Tahukah kita apa artinya perempuan? Kata perempuan ini berasal dari bahasa Melayu , “Empu” yang artinya adalah “ibu dan puan”. Ini adalah bentuk feminim dari kata tuan yang dapat diartikan dia yang diempukan, dituankan atau yang dihormati. Dari pemahaman ini kita dapat simpulkan bahwa seorang perempuan adalah sosok pribadi yang dipertuankan, sosok pribadi yang mempunyai hak untuk dihormati. Namun di dalam perjalanan sejarah kaum perempuan sering diperhadapakan dengan berbagai bentuk perendahan harkat dan martabatnya. Sekalipun pada haekatnya perempuan adalah ciptaan yang segambar dengan Allah (bnd. Kej 1:26-27). Perlakuan merendahkan perempuan sudah terlihat sejak dulu hingga saat ini. Misalnya melalui doa yang disampaikan laki-laki Yahudi yang menyebut: “Terpujilah Allah karena Ia tidak dilahirkan sebagai orang Kafir. Terpujilah Allah karena ia tidak dilahirkan sebagai perempuan. Dan terpujilah Allah karena Ia tidak dilahirkan sebagai budak”. Dari doa ini jelas bahwa status perempuan disejajarkan dengan seorang kafir dan seorang budak. Arti statusnya satu level dengan orang kafir dan budak. Dan bila dikaitkan dengan kehidupan sekarang, masih sering kita dengar adanya tindak kekerasan di alami oleh kaum perempuan dalam berbagai bentuk. Sekalipun sudah ada deklarasi penghapusan terhadap kekerasan terhadap perempuan (PBB / 1993) namun kekerasan masih tetap menjadi menu utama dalam kehidupan manusia hingga saat ini. Misalnya ada kekerasan fisik, yaitu pemukulan terhadap perempuan dengan tangan atau benda, menendang, menampar sampai ada yang meninggal. Bentuk kekerasan ini sering terjadi kepada para TKW yang bekerja di luar negeri. Namun tidak menutup kemungkinan juga kekerasan yang sama terjadi di rumah tangga atau yang sering kita sebut KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Istri diperlakukan kasar oleh suami atau keluarga lainnya. Juga ada kekerasan seksual yaitu perempuan dijadikan menjadi objek pemuas nafsu laki-laki tanpa seizin perempuan tersebut. Kekerasan lainnya seperti kekerasan ekonomi, misalnya si istri tidak diberi belanja rumah tangga. Atau perempuan gaji nya lebih rendah dari pada laki-laki. Dan tentunya banyak lagi jenis kekekerasan yang timbul dalam masyarakat dan termsuk dalam keluarga orang Kristen. Dan bagaiamana dengan pengalaman kita, adakah kekerasan yang terjadi? Dan hal itu sering dalam bentuk apakah? Tentu dalam keberadaan seperti ini gereja harus mempunyai sikap yang tegas untuk mencari solusi bagaiaman mengatasi kekerasan-kekerasan yang terjadi. Sebagaimana program dari Gereja-gereja sedunia yang telah mencanangkan tahun 2001 s/d 2010 adalah dasawarsa untuk mengatasi kekerasan (DOV) dengan non kekekerasan, dan tahun 2011 ini sebagai tahun peneguhan kembali kepada setiap pribadi dan gereja-gereja di dunia ini untuk tetap kommit “Non violence” (tanpa kekerasan) sekalipun kita menghadapi berbagai kekerasan. Sebab bila kekerasan dibalas dengan kekerasan akan menimbulkan kekerasan yang baru. Untuk ini peranan kita (perempuan) sangat sebagai pengikut Kristus sangat diharapkan. Mari kita lihat beberapa sikap yang hafrus kita praktekkan. Seperti yang diperlihatkan Yesus ketika Dia berhadapan dengan kekerasan. Yesus menganjurkan kepada para murid untuk bersikap cerdik dan tulus (Mat 10:16). Dalam terjemahan Alkitab King James Version kata “cerdik” diterjemahkan bijak (wise). Ini menunjukkan pentingnya kita harus tanggap dan sigap dalam menghadapi tindak kekerasan yang ada. Kesigapan itu terlihat dalam sikap kita ketika menghadapi kekerasan tidak bergantung pada kekuatan diri sendiri, melainkan pada Tuhan. Cerdik berarti tahu situasi dan dapat menempatkan diri dan berprilaku santun, sehingga dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Sikap tulus punya makna ketulusan, hidup sederhana dan tenggang rasa terhdap sesama dan lingkungan sekitar. Ketulusan inilah menunjukkan sikap rendah hati dan peduli terhadap sesama. Sehingga dengan kombinasi cerdik dan tulus merupakan sikap Yesus untuk meredam tindakan kekerasan. Yesus juga tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Sikap dan peran seperti inilah menjadi contoh keteladanan bagi kita. Sekalipun saat kita menghadapi atau mengalami kekerasan adalah sangat manusiawi kalau kita akan melakukan perlawanan / pembalasan. Namun dalam keadaan seperti itu Yesus punya sikap tenang dan menyerahkan semuanaya kepada Allah karena Dialah akan bertindak. Dapat kita sebutkan sikap dan peran Yesus dalam menghadapi kekerasan ini adalah sikap pasif dan aktif. Pasif artinya Yesus tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Sementara sikap aktif adalah sikap yang terus menerus bergantung kepada Allah Bapa dan mengharapkan jalan keluar yang akan diperbuatNya. Demikian juga sikap keteladanan yang diharapkan dari kita di saat menghadapi berbagai kekerasan. Kita punya sikap dan peran berlaku pasif dan aktif. Demikianlah juga Yesus melihat tindakan-tindakan kekerasan yang dialami oleh para muridNya, mereka diharapkan untuk memberlakukan damai sejahtra baik terhadap sesama juga di dalam persekutuan, dalam pekerjaan sehari-hari hari termasuk kepada ciptaan Tuhan lainnya. Dan sebagai mana kita sebutkan sebelumnya bahwa tindakan damai bukan hanya sebagai sapaan semata-mata tetapi menjadi suatu desakan untuk memberlakukan damai. Viloence ditiadakan dan diganti dengan kedamian dan kasih. Peran memberlakukan damai dapat diperlihatkan dan diperankan lewat sikap hidup berprilaku baik, benar dan adil. Memberlakukan kebenaran dan keadilan. Sebab dengan memberlakukan kebenaran atau keadilan akan menghasilkan ketenangan dan ketentraman hidup manusia (bnd. Mzm 32:17). Itu berarti dengan memberlakukan tindakan damai dalam persekutuan dan pekerjaan kita setiap harinya kita telah berada dalam peran melakukan “peace maker” (pelaku damai). Dan inilah seruan Petrus kepada jemaat yang sedang mengalami tindakan kekerasan ketika yaitu “janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat.” ( I Petrus 3:9). Seruan ini juga menjadi desakan dan peneguhan bagi setiap kita termasuk para ibu yang hadir di sini. Bahwa Yesus tegas menyebut: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5:9-10). Dengan peneguhan ini punya makna bahwa setiap anak Allah adalah pembawa dan pelaku damai. Demikianlah peran wantia dan peran kita semua sebagai anak-anak Allah, sebagai wakil Allah di bumi ini untuk mewujdukan damai dan perdamain. Violence dihentikan dan peran dan tindakan damai diberlakukan. Yaitu dengan sikap menerima kepelbagian yang ada dan mempraktekkan sikap saling menghormati satu dengan yang lain sebagai gambar Allah.
5. Dari penjelasan di atas ada beberapa pokok pikiran yang perlu kita renungkan: Pertama, syalom atau eirene / damai adalah milik Allah. Untuk itu Allah adalah sumber damai sejahtera bagi kita. Untuk itu setiap orang yang berada dan yakin sepenuhnya kepada Kristus kita didesak dan dipanggil untuk melakoni damai dan perdamaian dalam setia kehidupan kita. Sekalipun dalam dunia ini banyak tindakan-tindakan violence / kekerasan, ketidakamanan namun kita kita dipanggil untuk tidak melakukan hal yang sama, melainkan meniadakan violence dan menggantinya dengan sikap berperan menghadirkan peace / damai di tengah-tengah persekutuan dan pekerjaan kita. Sikap dan peran kita mari kita teladani sikap cerdik dan tulus (Mat 10:16). Cerdik berarti tahu situasi dan dapat menempatkan diri dan berprilaku santun, sehingga dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Sikap tulus punya makna ketulusan, hidup sederhana dan tenggang rasa terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Dengan ketulusan inilah menunjukkan sikap rendah hati dan peduli terhadap sesama. Kombinasi cerdik dan tulus merupakan sikap untuk meredam tindakan kekerasan. Kemudian sikap dan peran kita boleh perlihatkan sebagaimana sikap dan peran Yesus dalam menghadapi kekerasan yaitu sikap pasif dan aktif. Pasif artinya Yesus tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Sementara sikap aktif adalah sikap yang terus menerus bergantung kepada Allah Bapa yang mampu memberikan solusi terbaik bagi kita. Seruan dan peneguhan Yesus ini : “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5:9-10) menjadi janji dan peneguhan bagi kita.
Saya akhiri ceramah ini dengan mengutip kata-kata mutiara Mohandas Gandhi: “If we wish to create a lasting peace, we must begin with the children” artinya bila kita ingin menciptakan damai yang kekal berkesinambungan kita harus awali dari anak-anak (kita)”. Semoga.


Syalom and eirene / horas bagi kita semua

Pdt. Dr. Jonriahman Sipayung
Dosen STT Abdi sabda Medan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar