Rabu, 31 Agustus 2011

SPIRITUALITAS KRISTIANI
Ceramah ini disampaikan dalam Pembinaan warga GKPS Pardameian
Resort Medan Timur
Minggu 28 Agustus 2011
Oleh
Pdt. Dr. Jonriahman Sipayung

ARTI SPIRITUALITAS

Percakapan tentang “spiritualitas saat ini bukan hanya topik perbincangan di kalangan para teolog dan para pendeta, tapi sudah menjadi percakapan di tengah-tengah jemaat awam saat ini. Itu pertanda bahwa spiritualtias sangat berguna dan kebutuhan bagi kita. Sehingga semua umat manusia tanpa terkecuali, membutuhkan yang namanya spiritualitas. Pertanyaan apakah kita sudah mengerti apa arti “spiritualitas” itu? Kata spiritualitas berasal dari kata “spirit” dalam bahasa Latin “spiritus” artinya azas yang menghidupkan, Roh Kudus, bahkan bisa dikaitkan dengan hantu. Namun dalam hal ini spirit yang dimaksudkan adalah Roh kudus yang menghidupkan dan yang menguatkan manusia. Sehingga spiritualitas berkatian dengan pengalaman hidup rohani manusia. Seperti yang disampaikan oleh Paulus : “ Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh” (Gal 5:25). Sehingga orang yang punya spiritualitas adalah orang yang mau berjalan dan dipimpin oleh roh Kudus. Dan orang yang hidup di dalam buah-buah roh (Gal 5:22-23).
Pemahaman lain tentang spiritualtas yaitu menunjuk adanya hubungan atau relasi Allah dengan manusia, manusia dengan sesamanya serta relasi dengan ciptaan Tuhan lainnya.Dengan demikian spiritualitas bukan hanya menunjuk hubungan baik dengan Allah, tetapi juga menunjukkan hubungan baik dengan sesama manusia, bahkan hubungan baik manusia dengan alam ciptaan lainnya. Oleh karena itu spiritualitas pada dasarnya  menyatakan bahwa seseorang yang memiliki spiritualitas (kerohanian) hidupnya tidak terpisahkan dengan Allah, sesama manusia dan alam ciptaanNya. Relasi atau hubungan manusia dengan Allah merupakan dasar relasi mansuia dengan sesamanya dan alam ciptaan lainnya.  
Jadi, spiritualitas menurut firman Tuhan adalah keberadaan seseorang yang tahu bagaimana ia harus berelasi dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan dirinya sendiri serta ciptaan lain. Dan spiritualitas kehidupan kristiani harus nyata dalam “gaya hidup sebagai murid Tuhan Yesus yaitu memperlihtkan ketergantungan dan prioritas hidupnya yakni untuk memberlakukan kehendak Allah Bapa. Gaya hidup yang berspritualitas seperti inilah gaya hidup diperlihatkan Yesus ketika Dia masih di bumi ini. Hal ini jelas terlihat dari pernyataan Yesus : “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yoh 4:34).
Dari defenisi dan pemahaman di atas dapat kita sebut bahwa spiritualitas Kristiani harus terlihat dalam pengalaman hidup kita sehari-hari, artinya nyata dalam hubungan sehari-hari dengan Allah dan sesama serta dengan alam ciptaan lainnya Bahkan dalam tindakan prioritas hidup sehari-hari adalah mengutamakan kehendak dan keinginan Allah. Dapat kita hubungkan dengan keteladanan dan sikap yang diperlihatkan Yesus yaitu : “jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Mat 26:39).

TITIK TOLAK SPIRITUALITAS KRISTEN
Ada orang terjebak dalam pemahaman Spiritualitas yang dangkal. Artinya titik tolaknya memahami spiritualitas hanya sebatas penampakan hal-hal yang lahiriah semata-mata. Misalnya dengan kehadiran beribadah di kebaktian minggu atau dalam persekutuan-persekutaun lainnya tanpa ada tindak lanjut dalam praktek kehidupan sehari-hari. Karena sekalipun seseorang sibuk dalam kegiatan keagaamaan tanpa ditindaklanjuti atau tanpa melakoni apa yang diimani, hal seperti inilah yang kita maksudkan pemahaman spiritualitas yang dangkal. Dalam Kitab Yesaya jelas disebutkan bahwa keterlibatan seseorang dengan berbagai upacara dan aktivitas keagamaan tidak menjamin bahwa orang tersebut sudah memiliki hubungan relasi yang benar dengan Allah:
Yesaya tegas menyebtu “Dan Tuhan telah berfirman: Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan” (Yes. 29:13). Pemahaman ini hendak mengatakan kepada kita sekalipun kita mengkalim punya spiritualitas, punya hubungan dengan Allah, sekalipun kita rutin dalam beribadah, namun bila hidup sehari-hari kita jauh dari hal yang diinginkan Allah, jauh dari tindakan keadilan, hidup dalam kemunafikan, hidup dalam tampilan-tampilan lahirah saja tanpa hidup dalam kebenaran, keadilan, dan kejujuran maka relasi sedemikan hanyalah dangkal. Sebab spiritualitas menuntut suatu aksi yang memerlihatkan kesunguhan hati dan tindakan kejujuran di hadapan Allah dan sesama. Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Mat. 7:21-23).
  Spiritualitas Kristen berawal ketika seseorang menjadi pohon yang baik, yaitu pada saat ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadinya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah (Yoh. 1:12-13). Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik (Mat. 7:17-18)
 Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, telah divonis dengan murka Allah (Rm. 1:18). Maka, ia berada dalam status pohon yang tidak baik yang tidak memungkinkannya untuk menghasilkan buah yang baik. Untuk kembali kepada keadaan sesuai dengan tujuan semula Allah menciptakan manusia, ia harus dilahirkan baru terlebih dahulu (lih. Yoh. 3:1-21). Tentu satu hal yang penting dalam hubungan spiritualitas ada buah yang kita harus hasilkan dan itulah yang disebutkan oleh Yesus dalam Yoh 15:4-5: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristen nampak bukan hanya sebatas pengakuan, ucapan semata-mata mata, tetapi nyata dalam kesungguhan hati dan hidup berbuah baik adil dan benar.  Sehingga tidak lagi muncul sikap seperti dalam lagu nyanyian Haleluya Nomor 375: 2 : “Tardidi do sidea ringgas marminggu bei, bujur ganup idahan uhurni daoh bei. Halani ai ganupan seng sasap dosanin. Tuhanni seng ijolom ge pangkopkopon Ni in”.
KRITERIA SERTA PROSES PERTUMBUHAN SPIRITUALITAS KRISTEN
Rupanya seseorang yang telah menjadi anak Tuhan tidak secara otomatis akan langsung hidup sebagai anak Tuhan, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus kepada murid-Nya, Petrus : “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia (Mat. 16:23). Pola pikir manusia menghasilkan perilaku yang bersumber dari pola pikir tersebut. Dengan kata lain, selama pohon itu bukan pohon yang baik, maka ia tidak akan menghasilkan buah yang baik. Seseorang harus memiliki pola pikir ilahi dan hidup berdasarkan pola pikir tersebut. Dalam Alkitab kita membaca kata “mengenal Allah” (bnd. Dan 11:32, Rom 1:21) yang dimaksudkan bukan hanya sekadar mengetahui, mengenal secara kognitif, melainkan juga hidup berdasarkan apa yang ia ketahui. Ia melakoni apa yang diketahuinya (walk the talk).
Dengan demikian sesuai dengan pembahasan kita di atas, rupanya kuantitas keterlibatan seseorang dalam aktivitas keagamaan tidak dapat menjadi tolok ukur satu-satunya seseorang mempunyai spiritualitas manusia. Melainkan format spiritualitas berawal dalam relasi yang benar dengan Allah, yaitu pada saat seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya. Perubahan status dari orang berdosa menjadi orang kudus tidak secara otomatis menjadikan seseorang dewasa dalam kerohaniannya. Sebagai orang yang telah menerima anugerah keselamatan ia diharapkan untuk menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan iman yang telah menyelamatkannya. “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm. 12:1-2).
  Bagaimana kita tahu apakah kita sudah tidak serupa dengan dunia ini, atau telah ada pembaharuan dalam budi kita? Apabila kita tidak memiliki acuan yang mutlak maka semua akan menjadi relatif. Acuan kita bukan pola pikir dunia ini atau pola pikir siapa pun juga melainkan firman Tuhan. Seseorang tidak mungkin akan memiliki pola pikir firman Tuhan apabila ia tidak pernah berusaha untuk belajar dan memahaminya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mazmur 1: 1-6: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.”
  Berbuah banyak tercakup di dalamnya adalah melakukan semua perintah Tuhan. Perintah Tuhan itu adalah tetap berada di dalam persekutuan yang benar dengan Allah, dengan memelihara kekudusan hidup, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, serta menjalankan amanat agung dan mandat budaya. Menjalani semua itu bukannya tidak ada tantangan sebagaimana yang dinyatakan oleh Bonhoeffer tentang hidup dalam relasi anugerah, karena kasih karunia adalah mahal karena itu Ia memanggil kita untuk mengikuti Yesus Kristus. Tentu saja hal itu sudah sejak awal dinyatakan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Mat. 16:24-26). Pernyataan itu kemudian diikuti oleh Paulus yang mengatakan: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia (1Kor. 15:58).
KESIMPULAN
Jadi dengan demikian dapat kita simpulkan spiritualitas dalam pengalaman hidup yang digerakkan oleh Roh Kudus. Roh Kuduslah pemberi energy kekuatan yang tidak pernah absen dalam hidup orang percaya. Spritualitas adalah hubungan sehari-hari manusia dengan Allah, dengan sesamanya bahkan dengan alam ciptaan lainnya. Wujud nyata hidup dalam spiritualitas Kristiani terlihat dalam sikap dan gaya hidup manusia yang mencari kehendak Allah, dan melakukannya, yaitu hidup dengan rendah hati, hidup dalam kepedulian terhadap sesama dan alam ciptaan lainnya. Dan inti spritualtias Kristiani yaitu kita hidup di dalam Kristus dan Kristus hidup di dalam kita. Dan orang yang hidup di dalam Kristus, dan Kristus di dalam kita ia akan berbuah banyak. Dengan buah yang banyak menjadi kesaksian untuk banyak orang. Sehingga banyak oang yang percaya kepada Kristus. Untuk itu perkataan Thomass a Kempis sangat tepat sekali dalam kaitannya dengan hidup dalam spritualitas ini : Let the life of Christ be our guide” (Biarlah kehidupan Kristus menjadi pandu bagi hidup kita”. Dan di bawah ini saya melampirkan jenis praktek model hubungan dan persekutuan dengan Allah lewat  praktek hidup dalam Doa keheningan antara lain:
1.      Belajar dengan duduk tanang dalam keheningan. Duduk rileks, siap untuk mendengarkan suara Tuhan dan mendengarkan suara hati kita. Sekalipun saat kita rileks banyak pikiran-pikiran yang melintas dalam benak kita misalnya activitas yang akan dilakukan, masalah-masalah, bahkan mungkin terkait dengan seksualitas, atau bentuk-bentuk kekhawatiran hidup lainnya tetapi biarlah kita tetap tenang rileks dan jangan terganggu olehnya. Dengan kehenignan seperti ini kita fokus mau mendengar Tuhan berbicara kepada kita. Tariklah nafas dalam dalam dan hembuskan secara perlahan. Rasakan semua hembusan nafas ktia menyentuh seluruh tubuh bahkan smapai ke ujung kaki kita. Dan lakukan lah tindakan ini untuk beberapa kali. Lakukanlah praktek Doa keheningan ini dalam tempat khusus.
2.      Berjalan di alam terbuka. Ketika kita berjalan perlahan, lihatlah ke langit ciptaan Tuhan dan menarik napas dalam-dalam. Pikirkan diri anda dan juga Tuhan. Jika Anda ingin berkeingin nyanyikanlah lagu pujian untuk diri anda dan untuk Tuhan saat ini lah waktunya.
3.      Berdoa. Kita semua sudah pasti sering berdoa. Tentu kita berdoa sesuai dengan cara dan kebiasaan kita. Secara umum kita berdoa itu berarti kita berbicara kepada Allah, dan sering kita lakukan dalam doa itu kita memohon, meminta (lebih keras: mengatur) Tuhan. Doa untuk bermohon. Berikut ini kita akan melihat bentuk doa bukan hanya untuk meminta, tetapi menunjuk relasi kepada Allah. Dan hubungan atau relasi, komunikasi kita dengan Allah termasuk di dalamnya ucapan syukur, pujian, kekaguman, pengakuan, complain, dan juga hubungan dengan sesama mansuia.
4.      Berikut ini ada akronim kata tindakan Doa: (Acts Pray)
A = Adoration = pemujaan
C= Confession = pengakuan
T= Thanks giving =Ucapan syukur
S=Supplication = permohonan

P = Prasie = Pujian
R= repent = Pertobatan
A= Ask   = memohon
Y= Yield = jawaban / hasil
Dari bentuk doa semacam ini, Doa bukan hanya  sebagai komunikasi (communication) dengan Allah, tetapi juga persekutuan (communion) dengan Allah.  Hubungan kita dengan Allah dapat kita lewat doa, komunikasi dan persekutuan dengan Allah.
5.      Tuliskanlah dalam secarik kertas, dan tulislah di sebelah kiri kertas itu tanggal lahirmu dan sebelah kanan tanggal hari ini, mari memandang hidup kita bukan seperti garis lurus tetapi sebagai jalan melengkung. Artinya banyak peristiwa-peristiwa suka duka yang kita alami. Dalam waktu waktu yang kita lalui lihatlah formasi spiritualitas kita. Siapakah Allah bagimu dalam kurun waktu itu? Apakah kamu mempunyai hubungan spiritualiatas? Bagaimana kamu memikirkan hidupmu? Siapakah orang yang yang paling berharga bagimu?  Hal-hal apakah yang menyedihkan dan memilukan hatimu dalam kurun waktu itu? Bagaimana kamu melihat dan membayangkan semuanya itu?
6.      Sekarang tulislah  tentang  masa depanmu. Apakah tujuan hidupmu? Tulislah kommitmenmu Dan dapatkah kamu mengingat komitmenmu itu setiap pagi? Dimanakah Allah dalam kommitmenmu ini? Jelaskan kepada siapa pengharapanmu dan bagaimanakah  hubunganmu mu dalam 5, 10, 20 tahun ke depan terhdap yang kau harapkan itu? Dan anggaplah misalnya hidupmu telah berakhir. Apakah kira-kira yang diingat orang lain tentang dirimu?

Daftar Bacaan:
Holt, Bradley, P. Thirsty for God A Brioef History of Christian Spirituality, Minneapolis :
Fortress Press, 1941.
Oam, Barbara Pollet, “The Spiritual Aspect of caring For Peole With HVI/Aids” fslsm HIV / AIDS
& Spirituality, Ruth Hoad (ed. Ruth Hoadley), Spectrum Publication, 1998.
Sobrino, Jon, Spiritualtiy of Liberation Toward Political Holiness, Philippines: Claretian
Publication, 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar