1. Pengantar
Menguak tentang
kematian dan kebangkitan manusia dapat dihubungkan seperti air mata dengan mata
air. Di mana saat berhadapan dengan kematian tak terbantahkan air mata kesedihan
akan mengalir tanpa terasa sebagai dampak kesedihan itu sendiri. Kematian sering
menyisakan duka yang dalam bagi setiap kelurga yang ditinggalkan. Dapat dibandingkan
dengan tradisi orang Yahudi ketika sedang menghadapi kematian salah seorang anggota
keluarga, mereka biasanya berkumpul mengelingi jenazah, meratap dengan kesedihan.
Mereka memakai pakaian berkabung, melumuri tubuhnya dengan abu ataupun debu. Ada juga sampai mengkontrak
orang lain yang terampil untuk menyampaikan ratapan duka lewat
nyanyian-nyanyian duka.[1]
Setiap makhluk hidup mengalami kematian
(Pkh 3:19 -21). Demikianlah
hidup manusia berakhir dengan kematian kecuali Henokh dan Elia (Kej 5:24 , Ibr 11:5; 2 Rj 2:11 ).
Kematian adalah
suatu kepastian, namun tak terpungkiri kematian sering menyisakan duka bagi
keluarga yang ditinggalkan. Hanya dengan keyakinan kepadaNya yang sudah membangkitkan
Kristus dari kematian akan meneguhkan dan menghapus air mata kesedihan itu menjadi
mata air kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan janji Yesus bahwa : “…barangsiapa
percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25 ). Inilah mata air kebahagiaan bagi
setiap orang percaya.
2. Menguak arti kematian
Perkataan mati
dalam Bahasa Indonesia sangat kaya dan variatif penggunaanya. Ada yang menyebut meninggal, mangkat, tewas,
korban atau juga berpulang kerahmattullah. Sebenarnya semua kata-kata ini memberi
makna sama saja yaitu menunjukkan bahwa seseorang sudah mati. Walaupun cara meninggalnya
manusia bisa beragam, misalnya mati karena tabrakan mobil atau dibunuh orang maupun
karena bencana alam, dll, tetapi artinya tetap sama menjelaskan seseorang itu
sudah mati. Dalam bahasa Ibrani banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan
kematian manusia. Ada
yang menyebut “mut” (kata kerja),
artinya mati atau tWm), “mawet” (kata benda) artinya
kematian” ( Kej 2: 17 ; Mzm
6:6); db'_a' “abad”,
artinya binasa (bnd. Ayub 4:7, 9,20);” tam”
artinya binasa (Ul 2:14 ,
15); “harag” artinya membunuh (Kej 12:12 ; 2 Sam 3:30 ) dan shakab, tidur namun diartikan juga untuk mati (Ul 31:16). Semua ungkapan
ini menunjukkan keadaan manusia itu sudah mati.
Dalam bahasa
Yunani penggunaan kata “mati” juga bervariasi. Misalnya kata apokteino, artinya mati, dan kematian
ini dihubungkan akibat pembunuhan. Seperti pembunuhan yang Herodes lakukan
terhadap Yohanes pembabtis. Kemudian teleutao,
menunjuk kepada seseorang yang sudah mati, misalnya, Lazarus saudara laki-laki Marta
dan Maria yang sudah mati (Yoh 11: 39 ).
Demikian juga kata thanatos, artinya menunjuk keberadaan status seseorang sudah mati.
Dalam Perjanjian Baru kata thanatos
digunakan juga menjelaskan kematian Yesus. Misalnya pengakuan Paulus, Kristus
mati untuk dosa-dosa kita (1 Kor 15:3; Rom 5:8). Kemudian kata nekros, artinya mati / jenazah. Kata nekros ini sering disebut dalam Kisah Rasul,
Roma dan 1 Korintus 15. Dan yang terakhir yaitu kata hypnos artinya tidur, yang juga dimaknai sebagai metapor untuk
orang mati. Dan kata ini sejajar dengan kata kaqeu,dw, katheudo, artinya “tidur” sebagai gambaran untuk orang mati
(Mrk 5:39 ). Misalnya Lazarus
yang sudah mati namun Yesus menyebutnya “tidur” (Yoh 11:3 ; Mat 1:24 ; Luk 9:3). Sehingga sekalipun disebut
tidur dalam faktanya sudah mati.
Bagi orang
Israel pada prinsipnya secara umum kematian dipahami dari dalam beberapa aspek,
misalnya yang pertama: kematian adalah
sebagai hukuman atas ketidaksetiaan manusia. Dalam Perjanjian Lama disebutkan
manusia mati akibat pelanggaran dan ketidaksetiaannya terhadap perintah Tuhan. Sehingga
kematian dilihat sebagai akibat hukuman Allah bagi manusia (Kej 2-3). Sama
halnya dalam Perjanjian Baru tegas menyebut bahwa kematian adalah akibat dosa. “Sebab upah dosa ialah maut” (Rm 6:23a; 5:12 bnd. Eph 2:1). Dalam kitab Wahyu
kematian dihubungkan dengan penghukuman Allah atas dosa manusia (Why 2:11 ; 20: 6; 21:8).[2]
Kedua, kematian adalah sesuatu hal
yang wajar sebagai akhir hidup manusia.[3]
Apalagi bila seseorang mati dalam usia tua dan sudah memiliki banyak
anak, kematian semacam ini merupakan dambaan bagi setiap Yahudi (bnd. Kej 25:8; 46:30). Di samping kebahagiaan
dimaknai juga penuh damai sejahtera. Allah menyebutkan kepada Abraham : “Engkau
akan pergi kepada nenek moyangmu dengan sejahtera; engkau akan dikuburkan pada
waktu telah putih rambutmu” (Kej 15:15; 25:8; band Kitab Kebijaksanaan 4:7). Ketiga,
kematian dipahami sebagai “sahabat”. Sahabat artinya bahwa kematian itu
dipahami sebagai istirahat. Orang mati itu berbaring dengan tenang. Keadaan ini
jelas diungkapkan Ayub. Ayub menyebut kematian sebagai keadaan bersukaria dan
bersorak-sorak dan dalam keadaan kesenangan (Ayub 3:13, 21-22). Yang ke-empat,
kematian tidak terpisah dari kemahakuasaan Allah. Sebab Yahwe / TUHAN adalah
sumber kehidupan dan kematian manusia. Sehingga tidak layak untuk mengklaim
kematian itu kepada Allah. Sebab Allah adalah pemilik dan sumber kehidupan itu
sendiri (2 Rj 20:1-11). Karena itu baik kehidupan maupun kematian adalah
tergantung kepada kehendak TUHAN.[4]
Pernyataan ini mengingatkan kita akan pengakuan Ayub yang luar biasa itu “Dengan
telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan
kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama
TUHAN!" (Ayub 1:21).
Pemaknaan
kematian bagi hidup orang Israel merupakan sesuatu yang sangat penting untuk
kita pahami, sebab kematian berlawanan dengan kehidupan. Seseorang yang sudah
mati berarti tidak memiliki kehidupan lagi. Demikain juga tidak punya hubungan
dengan Tuhan dan manusia. Pemazmur tegas menyebut orang yang memuji Tuhan
adalah pertanda masih ada tanda-tanda kehidupan. Sebaliknya orang yang tidak
memuji Tuhan adalah tanda kematian. Pemazmur dan nabi Yesaya tegas menyebut
bahwa orang yang sudah meninggal tidak dapat mengucap syukur dan tidak dapat
lagi memuji Tuhan (Mzm 30:10; Yes 38: 18-19).
Dalam Perjanjian
Baru sejajar dengan pemahaman PL bahwa kematian dipahami sebuah akhir hidup
manusia.[5]
Kematian merupakan sesuatu yang lazim dan umum (Ibr 9:27 ). Sebab manusia adalah fana sifatnya sedangkan
yang kekal hanya ada dalam diri Allah (1 Tim 6:16). Sehingga kematian itu
merupakan sesuatu yang wajar dan harus diterima manusia (2 Sam 14:14 ). Kematian dimaknai secara
rohani dan secara jasmani. Artinya kematian secara rohani adalah sekalipun manusia
itu masih hidup secara jasmani namun pada hakekatnya bila hidupnya tidak lagi
bersyukur dan memuji Tuhan pada hakekatnya dia sudah mati secara rohani di hadapan
Allah. Dalam surat
1 Yohanes jelas menyebut bahwa kematian secara rohani adalah ditujukan bagi
mereka yang tidak mangasihi saudaranya. Artinya tanpa mengasihi, berarti hidup dalam
thanatos (kematian) (1 Yoh 3: 14). Kematian
secara jasmani menjelaskan realitas manusia yang mati dan mereka ini tidak lagi
punya hubungan dengan Allah. Kematian secara rohani bila manusia tidak ada
pertobatan dalam hidupnya akan berdampak kepada kematian yang kekal, yang di
dalam Alkitab sering disebut dengan kematian yang kedua (Yud 12; Why 2:11).
Dari penjelasan di
atas berarti kematian merupakan putusnya hubungan dengan manusia yang masih
hidup. Artinya manusia yang telah mati tidak punya akses hubungan lagi dengan
orang yang masih hidup. R. S. Anderson menyebut “saat terpisah dengan Allah keadaan ini
sudah berada dalam kematian”[6].
Ini menunjukkan kematian itu di maknai dalam ketiadaan relasi dengan Allah.
3.
Menguak arti kebangkitan
Topik
kebangkitan dalam Perjanjian Lama sangat minim. Leon Moris memberi alasan mengapa
hal kebangkitan itu sangat minim dalam PL, kemungkinan penyebabanya karena
topik kebangkitan sudah banyak dibicarakan dalam dunia Mesir dan Babel .[7]
Kemungkinan lain, dapat disebabkan
karena topik kebangkitan di dalam Keyahudian punya pandangan berbeda. Misalnya kelompok
Saduki menolak adanya kebangkitan hidup manusia. Bagi orang Saduki kematian
adalah pembinasan. Sebab itu pengharapan akan kebangkitan tidak ada.[8]
Demikian juga dalam Kitab Sirakh tidak mengakui adanya kebangkitan.
Kematian itu adalah sebagai tidur abadi (Sir 46:19), artinya tidak akan bangun
atau bangkit lagi.
Percakapan tentang
kebangkitan dalam PL selalu terkait dengan restorasi dan kebangkitan Israel sebagai
suatu bangsa. Dasar pemahaman kebangkitan ini berkatian dengan aspek pengharapan
Israel
akibat situasi penderitaan yang sedang dialami. Misalnya dalam kitab kitab Hosea
menyebut ada kebangkitan manusia. Hosea menggunakan kata WnmeÞqiy (yeqimenu) dari kata meÞq “qum”, artinya bangkit atau
bangun. Hosea menyebut dengan jelas: “Ia akan menghidupkan kita sesudah dua
hari, pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita akan hidup di
hadapan-Nya”. Demikian juga dalam kitab Yehezkiel memberikan suatu penglihatan besar
sebagai peneguhan bahwa tulang berserakan akan dihidupkan kembali (Yeh 37). Sekalipun
ada sanggahan bahwa Yehezkiel dalam ayat itu tidak secara langsung menghubungkan
dengan kebangkitan, melainkan kiasan atau symbol untuk menjawab pertanyaaan
orang –orang Yahudi, mengenai akhir hidup manusia khususnya ketika mereka
sedang diperhadapkan dalam situasi pertempuran karena bangkitnya tentera
Nebukednesar..[9]
Ayat ini memperlihatkan kuasa Allah adalah kuasa untuk menciptakan manusia dan kuasa
membangkitkan manusia nyata. Contoh lain adalah kitab Yesaya. Yesaya menyebut “
TUHAN, orang-orang-Mu yang mati akan hidup pula, mayat-mayat mereka akan
bangkit pula. Hai orang-orang yang sudah dikubur di dalam tanah bangkitlah dan
bersorak-sorai! Sebab embun TUHAN ialah embun terang, dan bumi akan melahirkan
arwah kembali” (Yes 26:19). Ayat ini juga adalah penjelasan akan adanya
kebangkitan manusia.Walaupun ada ahli yang menganggapnya sebagai ayat tambahan
saja.[10]
Peter C. Phan misalnya menyebut ketiga ayat di atas “dianggap bukan sebagai pernyataan
tegas mengenai hidup di akhirat setelah kematian melainkan sebagai kiasan iman akan
Allah sebagai sumber tertinggi kehidupan yang tidak pernah bosan-bosannya untuk
datang menyelamatkan umatnya selama dalam kesusahan”.[11]
Namun menurut hemat saya justru ayat di atas menjadi contoh dan bukti nyata
bahwa di dalam Perjanjian Lama sudah menubuatkan tentang adanya kebangkitan manusia.
Dengan nubuatan ini sekaligus memberi semangat dan pengharapan yang luar biasa bagi
bangsa Israel
yang sedang mengalami kesusahan, penderitaan bahkan termasuk kematian. Allah dalam
kemahakuasaanNya akan menghapuskan air mata kesedihan menjadi mata air kebahagiaan,
yaitu dengan adanya kebangkitan bagi manusia (bnd Yes 25:8). Inilah pengharapan
atau apokalupsis yang besar bagi setiap orang yang percaya sekalipun ia
menderita penganiayaan.[12]
Dalam kitab Daniel hal ini semakin nyata dan lebih meluas lagi. Di mana kebangkitan
itu dipahami bukan hanya untuk pribadi atau orang tertentu saja, melainkan kebangkitan
bagi semua orang (universal) baik yang jahat maupun yang setia (Dan 12:1-2).
Dalam Perjanjian Baru kata “bangkit” atau “kebangkitan” secara umum diterjemahkan
dari dua kata Yunani yang punya pengertian yang sama. Yang pertama anistemi, artinya “membangkitkan” atau
membangunkan (bnd. Mat 22:24
bnd. Kej 38:8; Mrk 5:42 ).Yohanes
menggunkan kata anistemi untuk menyebutkan
bahwa Yesus adalah kebangkitan dan hidup (Yoh 11:25 -26). Yesus adalah buah sulung kebangkitan (Kis 26:23). Kedua adalah kata egeiro artinya membangunkan dari tidur.
Dalam budaya orang Yunani makna kata ini hanya dalam arti kebangunan atau
bangkit dari tidur saja. Hal ini disebabkan karena orang Yunani meyakini bahwa jiwa
manusia adalah hidup. Namun lain halnya dengan pemahaman Alkitab. Perkataan egeiro dimaknai untuk menjelaskan baik
untuk bangkit saat manusia bangun dari tidurnya maupun kebangkitan dari antara
orang mati (Mrk 4:38 ).
Bila dikaitkan dengan kebangkitan Yesus, kebangkitan itu adalah tanda-tanda
zaman mesianis dan hadirnya kebangkitan untuk manusia (bnd. Mat 27:35). Ketiga,
zw/n, , zoe artinya hidup, kehidupan. Kata zoe ini digunakan untuk menjelaskan
kehidupan dan kebangkitan Kristus (Why1:18 bnd 2 :8).
Bagi Paulus topik kebangkitan sangat mendasar sekali. Dan dasar kebangkitan itu adalah kebangkitan
Kristus. Sebab menurut Paulus tanpa ada kebangkitan Yesus kepercayaan kita
kosong. “Tetapi
andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan
sia-sialah juga kepercayaan kamu. “Sia-sialah
pemberitaan kami dan sia-sialah iman kepercayaanmu”
(1 Kor 15:13 ). Amanat
inilah yang diterima dan disampaikan Paulus kepada jemaat dan juga untuk kita
semua:
Sebab yang sangat penting telah
kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa
Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia
telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga,
sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan
kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada
lebih dari lima
ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang,
tetapi beberapa di antaranya telah meninggal.
Dengan adanya kebangkitan Kristus ini menjadi
jaminan kebangkitan bagi setiap orang percaya. Bahkan kebangkitan Kristus menjadi
penyebab maupun model kebangkitan kita.[13]
Dalam 2 Korintus Paulus menandaskan kembali Kristus telah mati dan telah
dibangkitkan untuk kepentingan kita. Dan Kristuslah yang sulung dari
orang-orang yang telah meninggal (1 Kor 15:20 ).
Bila Allah telah membangktkan Tuhan, demikian Ia dengan kuasaNya akan membangitkan
manusia. Inilah jaminan suka cita dan inilah mata air kebahagiaan bagi setiap
orang percaya.
4. Hakekat kematiaan
dan kebangkitan manusia
Kematian merupakan sesuatu yang tak
terelakkan setiap mahkluk. Baik itu tumbuhan, hewan dan manusia. Hakekat
kematian berarti berakhirnya kehidupan (cessation)
atau berhentinya mahkluk (cessatio entis
viventis).[14]
Itu berarti manusia dalam kematiannya, manusia secara totalitas mati. Namun pemahaman
ini, bertentangan dengan pandangan lain yang memahami bahwa jiwa manusia adalah
kekal (immortality). Saat manusia
mati jiwanya pergi meninggalkan tubuh. Sebab tubuh adalah penjara bagi jiwa.
Inilah pemahaman orang Yunani. Sehingga kematian adalah sesuatu yang diharap-harapkan,
dan bukan sesuatu kesedihan. Misalnya Socrates mengakhiri hidupnya dengan minum
racun. Sokrates mati dengan bahagia sebab dengan kematian jiwanya bebas dari
penjara tubuhnya. Dengan pemahaman ini berarti antara tubuh dan jiwa adalah
sesuatu yang bertentangan. Atau sedikitnya tubuh dipahami lebih rendah daripada
jiwa.
Melihat
perbedaan pemahaman ini, kita akan melihat pandangan Alkitab mengenai hakekat
kematian manusia. Dalam Alkitab dijelaskan banyak penyebutan tentang aspek atau
komponen di dalam diri manusia. Oesterly menyebutkan ada 6 aspek-aspek hidup
manusia yaitu: daging (basar), jiwa (nephesh), nafas (neshamah), roh (ruakh),
darah (dam) dan tulang (azomoth).[15]
Berikut ini kita akan menjelaskan hanya tiga aspek berikut ini. Aspek pertama yaitu aspek daging.
Dalam Perjanjian Lama kata “daging” (basar)
adalah unsur utama tubuh manusia (Kej
40:19), juga digunakan untuk binatang (Im 6:27 ). Kata basar
ini diartikan menunjuk daging manusia yang
dipahami dalam arti positif, misalnya menunjuk kepada seluruh tubuh manusia (Ams 14:30). Laki-laki
dan perempuan bisa menjadi satu daging (Kej
2:24 ). Kemudian
kata basar ini menunjukkan keakraban
dengan sesama manusia, misalnya ungkapan pemazmur “Aku adalah darah dagingmu”
(Mzm 78:39).[16]
Dalam bahasa Arab, kata basar diartikan
menyangkut kulit, penampilan luar bahkan menunjuk totalitas manusia.[17]
Beberapa contoh dalam
PL kata basar juga diterjemahkan menunjuk
kepada tubuh manusia secara umum (1 Rj 21:27 ;
2 Rj 6:30 ; Bil 8:7; Ayub 4:15 ; Ams 4:22 ). Artinya tubuh di sini dimaknai sebagai
sesuatu hal yang positif.
Dalam Perjanjian Baru kata tubuh diterjemahkan kepada sarx. Satu sisi kata ini dapat menunjuk sebagai bagian tubuh
manusia, namun di sisi lain mengartikan eksistensi totalitas manusia (2 Kor
7:5; Rom 7:18 ). Penulis
Injil Matius mengutip Kejadian 2:24 menerjemahkan kata basar diterjemahakan ke
dalam bahasa Yunani menjadi sarx. Dan sarx ini menunjuk kepada seluruh hidup eksistensi manusia (bnd. Yoh
17:2). Dalam kitab Kolosse 2:1 TBI menerjemahkan sarx itu sebagai “Aku pribadi”. Artinya menunjuk manusia secara
utuh. Di samping arti positif kata sarx
juga punya arti negatif, misalnya bila manusia memusatkan kepada hawa nafsu dan
keinginan dagingnya (Rom 8:5) dan keinginan daging itu berdampak maut (Rom 8:6).
Manusia yang wawasannya dibatasi oleh daging, itu berarti menentang kehendak
Allah dan ia hidup menurut daging atau sarx (Rom 8:13).[18]
Komponen yang kedua yaitu nefesh (Ibrani)
artinya jiwa. Dalam kitab kejadian Allah memberi hm'v'n> neshamah (nafas, roh, jiwa) kepada manusia
sejak penciptaan sehingga manusia menjadi mahluk hidup (Kej 2:7). Kata neshamah ini menunjuk bukan kepada sebagian aspek
manusia melainkan menunjukkan hakekat kehidupan manusia. Dalam kehidupan Israel bahwa jiwa
itu merupakan bagian organ tubuh manusia yang mengungkapkan realitas hidup manusia.
Misalnya dalam Kejadian 14: 21, 46:18, Bilangan 5:7; Jeremia 43:6, dan Yeheskiel
33:6, kata jiwa dipahami sebagai manusia
(orang) secara utuh.[19]
Dalam PB kata
jiwa diterjemahkan dari yuch,, psukhe, artinya jiwa, hidup,
mahluk hidup. Paulus memahami arti psukhe
(jiwa, hidup) menunjuk bukan hanya kepada sebagian aspek hidup manusia melainkan
menunjuk manusia secara keseluruhan (Rom 2:9) atau tiap-tiap orang (Rom 13:1).
Paulus tegas dalam 2 Korintus 12:15
menggunakan kata psukhe untuk menunjuk
dirinya sebagai manusia yang utuh. “Karena itu aku suka mengorbankan milikku, bahkan mengorbankan “diriku” (yucw/n) untuk kamu.”
Dari contoh di
atas baik dalam PL dan PB aspek nefesh atau
psukhe menunjukkan tentang jiwa manusia
namun jiwa itu dipahami bukan secara parsial, melainkan secara utuh. Aspek
ketiga yaitu roh. Kata roh dalam bahasa Ibrani disebut ruakh, dan dalam bahasa Yunani pneuma.
Roh itu adalah salah satu aspek manusia, namun roh itu tidak terpisah dengan hidup
manusia. Sebab manusia tanpa roh bukan hanya mati melainkan tidak utuh.
Sehingga roh sangat berperan dalam hidup manusia. Lewat roh yang ada di dalam
diri manusia membuat manusia dapat berkomunikasi dengan Allah, dan dapat
menyembah Allah dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24). Dan melalui roh kita memahami
firman Allah. Sehingga roh adalah bagian
aspek hidup manusia yang tidak terpisahkan dengan aspek-aspek lainnya.
Dari berbagai aspek
kehidupan manusia yang dijelaskan di atas nampaknya manusia itu terdiri dari
tiga aspek atau tiga komponen atau trikotomi yaitu tubuh, jiwa dan roh atau
lebih. Ada yang
memahami hal itu benarnya adanya sebab ada di dalam Alkitab misalnya dari 1
Tesalonik 5:23 dan Ibrani
4:12. Paulus menyebut: “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu
seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak
bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita”. Selain itu ada juga pendukung
kelompok dhikotomi yang membuat dasar argumennya dari Kitab Pengkhotbah 12:7; 1 Kor 5:3-5.
Dari kepelbagaiaan pandangan ini bagaiamanakah sikap kita, apakah manusia itu benar
terbagi-bagi, ada tiga bagian, dua atau hanya satu bagian yang tak terpisahkan?
Dalam memberi sikap atas pandangan-pandangan yang berbeda ini, tentu kita tidak
menyalahkan Alkitab yang memberi sumber yang berbeda, namun dengan adanya penyebutan
tubuh, jiwa dan roh atau hanya dengan tubuh dan roh saja, semuanya ini adalah me
nunjuk aspek-aspek kehidupan yang
dimiliki manusia.[20]
Aspek-aspek ini adalah diciptakan Tuhan untuk memiliki fungsi masing-masing. Dan
ini adalah kekayaan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sehingga sekalipun ada
perkataan tubuh, jiwa dan roh, hal itu dipahami bukan secara terpisah satu sama
lain, sebab tidak ada keterpisahan tubuh dan jiwa seperti pemahaman orang Yunani.[21]
Bruce Milne menandaskan juga bahwa keadaan jiwa yang tak bertubuh bukanlah
keadaaan yang ideal (2 Kor 5:1-10).[22]
Sehingga sekalipun seperti nampaknya dalam Kitab Pengkhotbah 12:7 dalam
kematian manusia roh kembali kepada Allah, jiwa terlepas dari tubuh, namun pada
hakekatnya hal itu bukan menunjukkan keterpisahan roh dengan tubuh mansuia. Demikian
juga dalam perjanjan Baru terlihat adanya kemungkinan manusia terlepas dari
tubuhnya (Mat 10:28; Luk 19:19-31; 23:43). Misalnya ketika Paulus mengatakan:
“Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa
dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus
Kristus, Tuhan kita”. Dalam ayat ini Paulus bukan mengatakan bahwa manusia itu
adalah trikotomi tetapi menekankan karya pengudusan Allah itu adalah menyangkut
seluruh hidup manusia. Oleh karena itu sekalipun manusia punya aspek-aspek
hidup, semuanya aspek ini adalah satu kesatuan total yang tak terpisahkan.[23]
Hakekat kematian bukan saja mati secara
daging atau tubuh saja melainkan kematian total. Sebab dalam diri manusia tidak
ada kekekalan, kekekalan hanya ada di dalam Allah saja (1 Tim 6:16 ). Karena itu manusia adalah satu
kesatuan yang utuh, sekalipun
dalam diri manusia memiliki aspek
tubuh jasmani (basar, sarks, soma) dan jiwa (psikhis) serta
roh (ruakh, pneuma) namun semua aspek
ini adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebab aspek yang ada dalam diri manusia adalah utuh tak terpisahan
termasuk di dalam kematiannya.
5. Refleksi hakekat kematian dan kebangkitan bagi kehidupan masa kini
Dengan pemaparan di atas dapat kita refleksikan sekalipun
kematian tidak dapat dihindarkan, namun dalam terang kebangkitan
Kristus menjamin kebangkitan setiap orang percaya. Apostel Paulus tegas menyebut
tanpa kebangkitan Kristus maka “sia-sialah pemberitaan kami” (1 Kor 15:14); “kami
adalah berdusta terhadap Allah” (ay.15); “Sia-sialah kepercayaan kamu (ay.17 a).
Demikian juga orang orang Kristen masih dalam belenggu dosa (ay.17b) dan
akhirnya “kitalah orang yang paling malang di dunia (ay.19).[24] Sehingga dengan
kepercayaan kita kepada Kristus yang bangkit, maka kematian itu bukan lagi air
mata kesedihan melainkan berubah menjadi mata air kebahagiaan. Penekanannya adalah
“kepercayaan akan adanya kebangktian bagi orang mati”. Tetapi sebaliknya
seperti diungkapkan Anthony C. Thiselton “Ketidakpercayaan manusia akan adaya
kehidupan setelah kematian membuat hidup tanpa makna (meaningless); kepercayaan akan adanya
kehidupan setelah kematian mengundang sebuah
makna kerja
dan arti
yang tetap, hal
ini didasarkan pada janji Allah dan
kepercayaan manusia; pengalaman
setelah
kebangkitan (postresurrection) akan membawa akses makna yang mendalam dan ada kepastiaan.”[25]
Setiap orang yang percaya akan dibangkitkan dari tubuh alamiah kepada tubuh
yang rohaniah (1 Kor 15:44 ).
Apakah tubuh rohaniah itu? NT. Wright ahli Perjanjian baru itu memahami tubuh rohaniah
ialah tubuh yang dianimasi, dihidupkan oleh Roh Allah yang benar. Hal ini
dihubungkannya dengan perkataan Paulus dalam Rom 8:9-11 bahwa dengan Roh Kudus akan
membangkitkan tubuh manusia. Fitmyer memberi kesimpulan bahwa tubuh rohaniah adalah
menunjukkan eksistensi manusia dalam bentuk mode yang baru, yang berada di bawah
kuasa Roh Kudus. Demikian juga Martin Luther memahami tubuh rohaniah adalah hasil
karya Allah (pemberian Allah). Tubuh itu bukan menunjuk tubuh manusia yang dapat
makan, tidur dan mengunyah, tetapi…tubuh yang hanya berasal dari dan oleh Roh
Kudus. Artinya tubuh rohani itu adalah hasil karya Roh kudus, lahir dari roh Kudus
sehingga dia benar-benar sempurna tubuh / tubuh rohani”.[26]
Dengan iman percaya akan adanya kebangkitan hidup bagi
orang yang mati mendorong kita untuk tidak takut atau kuatir lagi tentang kematian
itu sendiri. Sekalipun kematian tidak bisa kita pungkiri. Namun kematian itu
tidak punya kuasa apa-apa lagi bagaikan seeokor ular yang “bisa atau sengatnya”
telah dicabut, sekalipun dia masih disebut sebagai ular, tetapi tidak punya
kuasa apa-apa lagi. Demikian jugalah sekalipun kematian tidak bisa dihempang,
namun kematian tidak punya kuasa-apa-apa lagi, sebab sengat maut telah
ditaklukkan oleh kebangkitan Kristus. Oleh karena itu komitmen kita adalah “… jika kita hidup, kita hidup untuk
Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati,
kita adalah milik Tuhan.” (Rom 14: 8). Komitmen ini mendorong
kita untuk mengaktualisasikan seruan Paulus berikut ini: “Janganlah
hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan”
(Rom 12:11 bnd. 1 Kor 15:58 ).
Daftar
Kepustakaan:
Sumber Utama: Alkitab
dalam Terjemahan Baru (Jakarta :
LAI, 2010)
Anderson, Ray S, Theology, Death and Dying (Worscoster:
Billing and Sons Ltd, 1986).
Baker, Anton, Anthropologi
Metafisik (Yogyakarta : Kanisius Metafisik,
2000).
Brown, C. “Resurrection”, Dictionary of New Testament Theology, vol 5 (Michigan:
Zondervan, Grand Rapids, 1986).
Dean, O. C., The Human Condition Anthropology in the
Teachings of Jesus, Paul, and John (Minneapolis: Fortress Press, 1996).
Gelsston, A. “saduki,
Orang”, Ensiklopedi Alkitab masa
Kini, Jilid II, M-Z (Jakarta:
Yayasan Bina Kasih, 1992).
Gulley, Norman R. “Death /
New Testament”, The Anchor Bible
Dictionary, vol 2, David Noel Freedman, Ed (Doubleday: 1992).
Heaton, E.W. Everyday
Life in Old Testament Times (Scotland: Transworld Publishers Ltd, Carousel
edition, 1974).
Jacob, Edmond .
Theology of the Old Testment,
translated by Arthur W. Heathcote dan Philip J. Allock (New York: harper &
Brothers Publishers, 1958).
Milne, Bruce, Mengenali Kebenaran panduan Iman Kristen
terj. Oleh Connie Item Corputty (Jakarta: BPK GM. 1996).
Oesterley, W.O.E., Immortality and the Unseen World
(London: Macmilland Company, 1921).
O’Grady, John F. Christian Anthropolgy A Meaning for Human
Life (New York: Paulus Press, 1976).
Richards, Kent Harold. “Death / Old Testament,” The Anchor Bible Dictionary, vol 2, David Noel Freedman, Ed
(Doubleday:1992).
Thilselton, Anthony C.,
Life After Death A New Approach to the Last things (Cambridge : WBE, Grand Rapids , 2012).
[1]
E.W. Heaton, Everyday Life in Old
Testament Times (Scotland: Transworld Publishers Ltd, Carousel edition,
1974), 94-96.
[2]
Norman R. Gulley, “Death / New Testament”, The
Anchor Bible Dictionary, vol 2, David Noel Freedman, Ed (Doubleday: 1992),
110-111; Kent Harold Richards, “Death / Old Testament”, The Anchor Bible Dictionary, vol 2, David Noel Freedman, Ed
(Doubleday: 1992), 108-110.
[3]
Kent Harold Richards, “Death / Old Testament”, 109.
[4] Ibid., 109.
[5]
Norman R. Gulley, 111.
[6].Ray
S. Anderson , Theology, Death and Dying (Worscoster: Billing and Sons Ltd,
1986).
[7]
Leon Moris, “bangkit, Kebangkitan”, Ensiklopedi
Alkitab masa Kini, Jilid I, A-L (Jakarta :
Yayasan Bina Kasih, 1992, 146.
[8]
Kelompok Saduki adalah kelompok keagamaan dalam Ke-Yahudian yang hanya memberlakukan
hukum-hukum tertulis dari Pentateukh. Mereka juga menolak ajaran tentang
kekekalan jiwa, kehidupan setelah kematian, kebangkitan , pahala dan imbalan ,
malaikat serta setan-setan. Mereka tidak percaya kepada nasib, alasannya karena
manusia mempunyai pilihan bebas tentang yang baik dan jahat. Lih, A. Gelsston,
“saduki, Orang”, Ensiklopedi Alkitab masa
Kini, Jilid II, M-Z (Jakarta :
Yayasan Bina Kasih, 1992, 335-336; bnd. C. Brown, “Resurrection”, Dictionary of New Testament Theology, vol 5 (Michigan:
Zondervan, Grand Rapids, 1986), 262-263.
[9]
C. Brown, ibid, 227-268,
[10]
Ibid, 268-269.
[11]Peter
C. Phan, 101 Tanya jawab tentang Kematian
&Kehidupan Kekal, terj. Cet. 5 (Yogyakarta :
Kanisius, 2005), 80-81.
[12]
Robert Martin Achard, “Resurrection”, The
Anchor Bible Dictionary, vol 5, David Noel Freedman, Ed (Doubleday:1992),
682.
[13]
Peter C. Phan, Op.cit, 152-154.
[14]
Anton Baker, Anthropologi Metafisik (Yogyakarta : Kanisius Metafisik, 2000), 291-307.
[15]W.O.E.
Oesterley, Immortality and the Unseen
World (London: Macmilland Company, 1921), 12-25.
[16]
Leon Moris, “daging”, Ensiklopedi Alkitab
masa Kini, Jilid I, A-L (Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 1992), 223.
[17]
Edmond Jacob, Theology of the Old
Testment, transaled by Arthur W. Heathcote dan Philip J. Allock (New York:
harper & Brothers Publishers, 1958), 158; bnd. Oesterley. Op.cit., 12-13.
[18]
Ibid.
[19]
Edmond Jacob, Op.cit, 158-161 bnd.
John F. O’Grady, Christian Anthropolgy A
Meaning for Human Life (New York: Paulus Press, 1976), 127-131.
[20]
John F. Grady, Op.cit,130-131.
[21]
Ibid.,
[22]
Bruce Milne, Mengenali Kebenaran Panduan
Iman Kristen terj. Oleh Connie Item Corputty (Jakarta: BPK GM. 1996),
138-139.
[23]
O. C. Dean, Jr, The Human Condition
Anthropology in the Teachings of Jesus, Paul, and John (Minneapolis:
Fortress Press, 1996), 104-105.
[24]
Anthony C. Thiselton, Life After Death A
New Approach to the Last things (Cambridge :
WBE, Grand Rapids ,
2012), 117-118.
[25]
Ibid, 14-15
[26]
Ibid, 125-127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar